MELALUI "SARASWATI" MENCAPAI "PAGERWESI"


SARASWATI yang diyakini sebagai hari turunnya ilmu pengetahuan,  diikuti serangkaian prosesi seperti Banyu Pinaruh, Soma Ribek, Sabuh Mas dan puncaknya adalah Pagerwesi. Saya mencoba melakukan pemaknaan yang bersifat penyadaran dan pemberdayaan diri. Kerangka berpikir yang digunakan adalah proses mewujud dari akasa (Saraswati), bayu (Banyu Pinaruh), teja (Soma Ribek), apah (Sabuh Mas) dan pertiwi (Pagerwesi). Pemaknaan ini diharapkan mampu memotivasi manusia Bali untuk berbuat lebih baik untuk dirinya, maupun untuk lingkungan dimana ia hidup.

Saraswati
Saraswati yang disimbolkan sebagai seorang dewi yang cantik jelita dengan segala ornamennya, merupakan simbol dari kesadaran diri. Pada saat hari Saraswati, seyogyanya orang Bali melakukan perenungan ke dalam dirinya, masuk jauh ke dalam relung hatinya, menembus seluruh kegelapan dan ketakutan yang menghalangi, sampai pada titik dimana muncul kesadaran akan sang diri yang sesungguhnya merupakan perwujudan dari Saraswati itu sendiri.

Kesadaran Saraswati
Saraswati merupakan saat yang tepat untuk menyadari keberadaan dari daya pengamatan dalam diri, yang selalu mengalirkan ilmu pengetahuan. Kesadaran akan keberadaan aliran ilmu pengetahuan, akan melahirkan sosok manusia baru. Ini bisa dimaknai dari simbol Dewi Saraswati yang memegang pustaka, genitri, alat musik wina, duduk di atas bunga teratai, didampingi seekor angsa dan seekor burung merak. <lebih lengkap klik disini>

Banyu Pinaruh
Sehari setelah hari Saraswati, disebut Banyu Pinaruh (Redite Pahing Sinta). Banyu Pinaruh bisa diartikan "pengaruh air". Ritual pada hari Banyu Pinaruh, biasanya orang Bali pergi menuju laut atau sungai di pagi hari.  Suasana pagi, berkonotasi dengan berlalunya masa kegelapan dan dimulainya pencerahan. Sedangkan air merupakan elemen alam yang mewakili sistem alam. Air di laut akan menguap menjadi awan. Awan berkumpul menjadi mendung, lalu turunlah hujan. Air hujan mengalir di sungai, berkumpul kembali di laut. Air sangat terikat dengan sistem alam.

Tubuh manusia pun mayoritas terdiri dari air, sehingga manusia tidak bisa lepas dari sistem alam. Dengan tercapainya kesadaran diri sebagai Saraswati, maka manusia akan mampu memahami keberadaan sistem alam semesta dan bergerak dalam koridor sistem semesta. Pada tatanan ini, ilmu pengetahuan telah mengantarkan seseorang masuk ke tatanan bayu. Bayu diartikan atmosfir, yang mengayomi bumi. Sedangkan sistem atau hukum alam mengayomi alam semesta, sehingga bayu berkonotasi dengan sistem atau hukum alam.


Jadi, setelah mencapai kesadaran Saraswati, pada tatanan Banyu Pinaruh, seseorang mampu melihat keberadaan koridor berupa hukum-hukum alam yang mengayomi semesta.

Soma Ribek
Sedangkan hari ketiga dari rangkaian Saraswati disebut Soma Ribek. Tepatnya pada hari
Soma (Senin) Pon wuku Sinta. Dengan kesadaran akan keberadaan ilmu pengetahuan dalam diri, manusia kemudian mampu berkreasi dan berekspresi dalam koridor hukum alam. Kreasi dan ekspresi dalam bentuk kriya atau kerja. Kreativitas dalam kriya atau kerja ini membuat manusia mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok hidupnya, sehingga tercapai rasa pemenuhan dalam dirinya (Ribek = bek/penuh). Atau secara sederhana, dengan pencapaian akan kesadaran diri (Sarasawati) serta memahami keberadaan dari koridor alam semesta (Banyu Pinaruh), seseorang mampu mengekspresikan dirinya melalui kriya/kerja untuk memenuhi seluruh aspek kebutuhan dalam hidup (Soma Ribek).

Keberadaan ilmu pengetahuan telah menggiring manusia masuk ketatanan teja (api/cahaya). Teja atau api dalam diri manusia yang akan mendorong manusia untuk selalu berkreasi dan berekspresi dalam kriya.


Jadi, pada tatanan Soma Ribek berarti tercapainya atau terpenuhinya segala aspek kebutuhan dalam hidup.

Sabuh Mas
Hari keempat, Anggara (Selasa) Wage wuku Sinta disebut Sabuh Mas. Pada tahap ini,
manusia yang telah mencapai kesadaran Saraswati tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan pokok (primer)-nya saja, namun juga mampu memenuhi kebutuhan sekundernya. Sabuh Mas bisa diartikan seseorang yang telah terpenuhi secara materi (mas/emas = kemakmuran /keberlimpahan), mampu hidup dan mengikuti pergerakan jaman. Atau dengan bahasa sederhana, seseorang yang bukan saja telah mampu memenuhi aspek kebutuhan dalam hidup, namun juga memenuhi aspek kesenangan dalam hidup.

Pada tahapan ini, seseorang sudah memiliki gaya hidup (lifestyle), mampu memperoleh hal-hal terbaik dari yang ada di alam untuk dirinya. Makanan yang terbaik, pakaian yang terbaik, rumah yang terbaik bahkan memberikan pendidikan yang terbaik untuk keluarganya. Bisa diartikan manusia yang telah mencapai kemakmurannya. 


Dengan kata lain, Sabuh Mas berarti telah tercapainya atau terpenuhinya segala aspek kesenangan dalam hidup.

Tahap ini berada pada tatanan apah. Apah sering diartikan air, yang mewakili kemakmuran hidup.

Pagerwesi
Akhir dari rangkaian hari Saraswati dan juga merupakan puncaknya, disebut hari Pagerwesi. Pada tatanan ini, kesadaran Saraswati dalam diri seseorang mengantarkannya pada tingkat pencapaian kenyamanan internal maupun eksternal. Sebuah kondisi yang membuat seseorang tidak lagi tergoyahkan oleh dinamika kehidupan. Sebuah kondisi sejahtera secara jasmani dan rohani, bak terpagari dengan besi. Sebagai puncak dari aktualisasi diri sebagai manusia.


Tahap ini berada pada tatanan pertiwi. Pertiwi adalah segala sesuatu yang mewujud. Kesadaran yang telah membawa ke puncak keberadaan dan kesempurnaan manusia yang telah benar-benar mewujud. Sebuah kondisi "moksartham jagadhita ya ca iti darma".

Inilah kondisi puncak dari aktualisasi diri yang menjadi tujuan hidup dari setiap manusia.

Begitu cerdas leluhur orang Bali dalam menurunkan ajaran-ajaran luhurnya. Semuanya tersembunyi dalam simbol-simbol. Kita sebagai pewaris ajaran seyogyanya lebih bisa mengartikan ajaran-ajaran tersebut sesuai dengan ruang waktu dimana kita hidup, sehingga, ajaran-ajaran luhur tersebut benar-benar bisa memberi manfaat baik secara pribadi dalam melangkah menapaki jalan kehidupan, maupun bagi kesejahteraan umat manusia pada umumnya.
 

Kecerdasan leluhur orang Bali juga terlihat dari cara merangkai ajaran tersebut dalam bentuk rangkaian ritual dari Saraswati hingga Pagerwesi, yang tidak dilakukan di India. Sesuatu yang perlu kita apresiasi dan banggakan. Sebagai akhir kata, semoga pemaknaan yang diberikan bisa memberi inspirasi serta membangun kerangka berpikir positif demi kesejahteraan orang Bali ke depan.

Dan sebagai penekun jalan spiritual, hendaknya ketika memahami ajaran dengan benar, mampu mengaktualisasikan dirinya secara maksimal. Sayangnya, banyak sekali para penekun jalur spiritual justru menghindari segala aspek materi. Entah karena tidak mampu mencapai atau karena gagal, mereka kemudian berdalih menempuh jalur spiritual untuk menutupi kegagalan dalam hidup.

Menempuh jalur spiritual semestinya bukan membuat seseorang menghindari dunia kebendaan. Namun sebaliknya masuk ke dalam dunia kebendaan tanpa tercemar oleh kebendaan. Ibarat berenang dalam laut, jauh masuk ke dalam lautan, namun tetap tidak terbasahkan oleh air laut. (GS)