EMOSI TANPA NALAR - AWAL DARI BENCANA


…Laksmana tertegun mendengar ucapan Dewi Sita. Ia tidak pernah berpikir bahwa Dewi Sita akan berpikir sejauh itu tentang dirinya. Perasaan gundah bergejolak dalam dirinya. Namun berusaha ditahannya agar tidak menimbulkan perdebatan lebih lanjut. Kepergian kakaknya yang cukup lama itu saja sudah menimbulkan permasalahan tersendiri. Kini niat tulusnya berbakti kepada Sang Rama telah disalah artikan oleh Dewi Sita.

Kemudian perlahan Ia berdiri tepat dihadapan Dewi Sita sambil berujar, “ Aku hanya berusaha menjalankan titah Kanda Rama. Namun jika itu yang ada di benak Kanda Dewi, akan kujalankan perintah Kanda Dewi. Meskipun itu berarti aku harus menentang titah Kanda Rama. Aku tahu apa yang akan terjadi sepeninggal aku dari tempat ini. Aku harap Kanda Dewi bisa menjaga diri saat Aku dan Kanda Rama tidak ada di sini”.

“Selama aku dan Kanda Rama belum kembali, aku harap Kanda jangan pernah melanggar garis lingkaran yang kubuat untuk melindungimu. Jika Kanda melangkah keluar dari lingkaran ini, berarti Kanda Dewi tidak jujur dan tidak setia pada diri Kanda sendiri”. Sambil berkata demikian, dengan panah saktinya Laksmana membuat lingkaran disekeliling gubuk tempat mereka berteduh.

“Hilangkanlah pikiran buruk Kanda Dewi terhadap diriku. Aku harap Kanda Dewi mengerti bahwa apa yang aku lakukan selama ini adalah merupakan pengabdianku yang tulus kepada Kanda Rama. Sesuai dengan perintahmu, aku mohon pamit untuk menyusul Kanda Rama”. Laksmana menangkupkan kedua telapak tangannya di dada, menundukan kepalanya untuk menghormat, lalu mengucapkan selamat tinggal pada Dewi Sita. Laksmana kemudian melangkah menjauh meninggalkan Dewi Sita seorang diri dengan perasaan sedih dan gundah. Berbagai hal berkecamuk dalam pikirannya. Emosinya bergejolak. Ada rasa sesal, sedih geram dan sakit hati. “Kenapa jadi begini?” gumamnya. Tak terasa yang satrya meneteskan air mata. Dengan wajah murung dia mencoba menyusuri jejak sang Rama.

Belum begitu lama Laksmana meninggalkan Dewi Sita, datanglah seorang kakek tua. Tampak dari penampilannya, dia adalah seorang pertapa atau Sanyasi. Badannya kurus dan tampak lusuh. Kondisinya terlihat sangat menyedihkan. Ketika melihat Dewi Sita sedang terduduk seorang diri, dia pun berkata, “ Siapakah putri nan cantik ini. Kasihanilah hamba seorang pertapa tua. Sudah dua hari berjalan di dalam hutan tanpa pernah menyentuh makanan”. Dewi Sita tertegun. Hatinya iba. Lalu diapun berdiri. Namun dia segera teringat dengan pesan Laksmana. Hatinya bimbang. Sekilas dia melihat kondisi pertapa itu sangat lemah dan butuh pertolongan. Namun dia ragu. Lalu sang pertapa kembali berkata, “Apakah yang membuat Tuan Putri ragu? Bahaya apakah yang bisa ditimbulkan oleh seorang pertapa tua renta yang lemah seperti hamba ini?” Kata-kata itu mampu menghilangkan keraguan Dewi Sita, dan dia pun mulai melangkah mendekati sang pertapa. Langkah Dewi Sita kembali terhenti saat mendekati batas lingkaran. Lalu sang pertapa kembali berkata sambil memelas, “Tolonglah hamba wahai Putri nan cantik. Ulurkanlah tanganmu”.

Sesaat keraguan Dewi Sita hilang. Dia pun maju, dan tangannya pun terjulur keluar batas lingkaran. Tangan Dewi Sita pun langsung disambut oleh sang pertapa dan tiba-tiba saja menariknya dengan kuat sehingga seluruh tubuh Dewi Sita keluar dari lingkaran. Belum hilang rasa kaget sang Dewi, tiba-tiba sang pertapa berubah wujud menjadi sosok raksasa yang berwajah mengerikan yang serta merta merangkul tubuhnya...

****************

Penggalan kisah dari kitab Ramayana yang terkenal ini sengaja dipaparkan karena cerita panjang dari kitab Ramayana berawal dari sini. Dari sinilah perjalanan panjang Sang Rama dalam mencari istrinya dimulai. Secara keseluruhan, kitab Ramayana sarat dengan ajaran-ajaran kehidupan yang dikemas dalam bahasa simbol. Penggunaan  bahasa simbol memberi pembacanya keleluasaan dalam menginter- pretasikannya, sesuai dengan perkembangan jaman. Dan karena itu, saya juga mencoba untuk menterjemahkan simbol-simbol tersebut sesuai dengan pemahaman saya di era kekinian.

Kemampuan seseorang untuk berpikir jernih sangat erat hubungannya dengan kemampuannya mengendalikan emosi. Dalam kisah Ramayana pada episode di atas, semua diawali ketika Dewi Sita begitu menginginkan rusa yang dilihatnya dan meminta Sri Rama untuk menangkap rusa tersebut dan meninggalkan Laksmana dan Dewi Sita.

Ada tiga karakter yang mewakili tiga aspek dalam diri manusia yaitu Rama, Laksmana dan Dewi Sita. Rama sendiri  menggambarkan intuisi dalam diri manusia. Dia adalah inspirasi. Dia adalah sesuatu yang jauh melampaui pikiran dan perasaan manusia yang berhubungan dengan sistem yang lebih besar. Rama mewakili sistem alam semesta. Dia adalah Tuhan yang bersemayam dalam diri manusia. Atau dalam dunia modern dikenal dengan kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient) <klik disini>. Sedangkan Laksmana menggambarkan aspek maskulin dalam diri manusia, yaitu kemampuan berpikir secara rasional atau nalar. Dia adalah alur berpikir yang matematis. Orang Bali menyebut dengan pepetekan atau pepineh. Sedangkan Dewi Sita menggambarkan aspek feminin dalam diri manusia. Dia berwujud emosi dan perasaan dalam diri manusia yang sifatnya sangat dinamis. Orang Bali menyebutnya dengan pengerasa.

Ketika Dewi Sita menginginkan rusa, ini bukan karena perut yang lapar butuh makanan, melainkan karena dia ingin memilikinya. Jadi landasannya adalah keinginan dan bukan kebutuhan.  Guna memenuhi keinginan Dewi Sita, Rama lalu pergi meninggalkan mereka. Bisa diartikan bahwa ketika manusia berusaha meraih sesuatu atas dasar keinginan untuk memiliki, maka sisi emosilah yang lebih menggerakan diri. Sehingga aspek kepentingan bersama akhirnya terabaikan. Ego jadi lebih berkuasa dalam diri daripada sisi Illahinya. Ini digambarkan dengan kepergian Sri Rama  (intuisi) meninggalkan Laksamana dan Dewi Sita.

Setelah itu terjadi dialog antara Laksmana dan Dewi Sita. Dalam dialog tersebut, Dewi Sita menekan Laksmana dan bahkan berprasangka buruk terhadap Laksmana. Dewi Sita menjadi lebih dominan dan bahkan memenangkan dialog tersebut. Akhirnya Laksmana tunduk dan bersedia mengikuti kehendak Dewi Sita pergi menyusul Sri Rama. Namun, sebelum pergi, Laksmana memberikan batasan sejauh mana Dewi Sita boleh bergerak. 

Aspek maskulin dan feminin dalam diri
Adegan ini menggambarkan adanya pergolakan antara pikiran atau perhitungan logis (Laksmana) dan perasaan atau emosi (Dewi Sita). Tugas Laksmana adalah menjaga Dewi Sita. Dengan kata lain, rasio atau nalar bertugas menjaga emosi/perasaan sejauh mana boleh bergerak. Pikiran logis memberikan koridor atau ruang untuk bergerak (Sikut – bahasa Bali). Koridor ini sifatnya baku. Emosi atau perasaan sifatnya dinamis. Keluwesannya terletak pada aspek perasaan. Sebagai contoh, hukum dan perundang-undangan sifatnya baku. Tetapi dalam pelaksanaannya, seorang hakim dalam kebijaksanaanya mempertimbangkan banyak aspek, sehingga fleksibel dalam menjatuhkan hukuman. Misalkan, undang-undang menetapkan hukuman seberat-beratnya lima tahun untuk tindak pidana tertentu. Namun karena pertimbangan aspek motif dan lain-lain, seorang hakim bisa menjatuhkan hukumannya hanya dua tahun penjara. Seyogyanya segala sesuatu yang dilakukan sebaiknya jelas dulu perhitungannya, sebelum mengambil langkah-langkah selanjutnya. Bahkan dalam adegan tersebut, sebelum pergi, Laksamana pun membuat lingkaran sebagai pembatas untuk Dewi Sita. Dalam hal ini manusia semestinya tetap menjaga diri untuk bertindak di dalam koridor. Jangan sekali-kali pernah keluar dari koridor. Atau dengan bahasa sederhana, jangan sekali-kali bertindak diluar perhitungan.

Pada adegan selanjutnya, digambarkan Dewi Sita merasa iba pada seorang pertapa sehingga keluar dari lingkaran yang dibuat oleh Laksmana. Lalu dari sini munculah bencana.

Rasa iba yang muncul pada diri Dewi Sita lebih bersifat emosional. Manusia pun jika ada kedekatan emosional, sering tidak menggunakan perhitungan, meskipun niatnya baik. Hal ini menyebabkan segala perhitungan diabaikan. Hanya karena berteman baik atau keluarga, saat berbisnis, hitung-hitungan diawal tidak dibuat. Demikian juga dengan perjanjian-perjanjian tidak dibuat secara tertulis. Dasarnya hanya kepercayaan yang sifatnya karena kedekatan emosional. Disamping itu, banyak keputusan yang diambil sifatnya karena dasar emosional yang tanpa perhitungan (perginya Laksmana). Hal inilah yang dapat menimbulkan bencana dikemudian hari.

Dari cerita itu, bisa dipetik bahwa manusia perlu menyadari keberadaan dari intuisi, nalar dan emosi dalam dirinya. Menyeimbangkan nalar dan emosi, memberi ruang kepada intuisi untuk membimbing kita untuk melangkah. Seperti keberadaan Rama diantara Laksmana dan Dewi Sita, dimana Sri Ramalah yang memimpin dan membimbing mereka. Munculnya emosi akan berujung pada ketiadaan intuisi. Dalam kondisi seperti ini, maka pikiran logislah yang bisa dijadikan landasan dalam pengambilan keputusan. Perhitungan logis akan menciptakan ruang kepada emosi sejauh mana boleh bergerak. Pergerakan emosi yang melampaui logika, menghasilkan keputusan yang sifatnya emosional dan hanya akan mendatangkan bencana.

Hal ini banyak terjadi di masyarakat Bali pada saat mereka ingin melakukan yadnya. Sering kali keinginan melakukan yadnya dilandasi oleh sisi emosional sehingga melupakan aspek perhitungan dari kemampuan biaya. Setelah melakukan yadnya, bukan kerahayuan yang diperoleh, melainkan bencana karena yadnya tersebut menyisakan hutang yang harus diselesaikan. Memang ada perhitungan tertentu yang mewajibkan orang Bali untuk melakukan yadnya tertentu. Tetapi seperti diutarakan di atas, aspek pelaksanaannya bersifat fleksibel. Terbukti dari adanya tingkatan upacara dan upakara yang bertingkat dari Nista, Madya dan Utama. Bahkan masih bisa dipilah lagi menjadi Nistaning nista, Nistaning madya dan Nistaning Utama, demikian seterusnya. (GS)


Tulisan ini pernah dimuat pada tabloid Kharisma Madani edisi Januari 2011